Kasus positif Covid-19 yang disebabkan oleh virus corona masih menunjukan peningkatan di sejumlah wilayah di Indonesia. Hampir semua kalangan usia berisiko tertular virus corona, mulai dari bayi hingga lansia. Bahkan beberapa kelompok disebutkan sebagai orang-orang yang rentan terinfeksi seperti orang dengan penyakit tertentu.
Salah satunya penderita HIV, yang tentunya khawatir dengan adanya pandemi tersebut. Mengapa? Sebab, HIV adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi.
Baca juga: HIV: Gejala, Cara Pengobatan Dan Pencegahannya
Apa penyebab HIV?
Di Indonesia sendiri, penyebaran dan penularan HIV paling banyak disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak aman dan bergantian menggunakan jarum suntik yang tidak steril saat memakai narkoba.
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan RI, selama tahun 2016 terdapat lebih dari 40.000 kasus infeksi HIV di Indonesia. Dari jumlah tersebut, HIV paling sering terjadi pada pria dan wanita, diikuti lelaki seks lelaki (LSL), dan pengguna NAPZA suntik (penasun). Di tahun yang sama, lebih dari 7000 orang menderita AIDS, dengan jumlah kematian lebih dari 800 orang.
HIV menular melalui apa saja?
Banyak mitos di luar sana yang keliru jika HIV dapat menular melalui air liur, keringat, sentuhan, ciuman, atau bahkan gigitan nyamuk. Padahal penularan HIV paling utama berasal dari kontak cairan.
Lalu, bagaimana keterkaitan HIV dengan COVID-19? Simak penjelasan lengkapnya.
Apakah penderita HIV berisiko lebih tinggi terinfeksi virus corona COVID-19?

Dilansir dari situs World Health Organization (WHO) terkait dengan risiko infeksi virus corona pada orang dengan HIV. Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus melalui pengobatan antiretroviral rentan untuk mendapatkan infeksi oportunistik dan perjalanan penyakit akan lebih cepat mengalami perburukan. Hal ini diakibatkan karena sistem imun yang belum pulih.
Antiretroviral itu sendiri merupakan terapi yang digunakan untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perbaikan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus dalam darah sampai keberadaanya tidak terdeteksi.
Belum ada bukti yang menunjukan bahwa terjadi peningkatan risiko infeksi terhadap COVID-19 dan perburukan penyakit pada ODHA. Menurut WHO sampai saat ini belum ditemukan kasus positif COVID-19 yang dilaporkan di antara penderita HIV, meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini bisa saja berubah ketika penyebaran virus semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh laporan bahwa selama wabah SARS dan MERS terdapat beberapa kasus penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA.
Sejauh ini, data klinis menunjukan faktor risiko kematian terbesar karena COVID-19 ada kaitannya dengan usia lanjut, dan penyebab lainnya termasuk penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit saluran napas kronis, dan hipertensi. Namun, bukan hal yang sangat tidak mungkin orang yang sangat sehat juga berisiko masalah padao menderita penyakit parah akibat infeksi coronavirus.
Hanya saja, Center for Disease Control menyebutkan, orang dengan HIV yang memiliki kondisi seperti di bawah ini mungkin berisiko untuk tertular virus corona, yakni:
- Orang dengan HIV yang tidak mengonsumsi ARV atau antiretroviral
- Orang dengan HIV yang tidak memiliki jumlah CD4 yang rendah (>200 copies/cell)
- Orang dengan HIV yang memiliki viral load cukup tinggi.
- Orang dengan HIV yang tidak mengkonsumsi ARV atau antiretroviral.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, orang yang hidup dengan HIV sangat rentan mengalami masalah infeksi saluran pernapasan jika tidak di ‘manage’ dengan baik. Untuk alasan yang satu ini, orang dengan HIV penting untuk melakukan pengobatan antiretroviral (ARV) secara teratur, khususnya di tengah pandemi seperti sekarang.
Risiko tersebut kemungkinan dapat terjadi pada orang dengan HIV yang juga mengalami masalah pada saluran pernapasan seperti tuberculosis (TBC), penyakit metabolik lainnya atau faktor usia lanjut.
Baca juga: Fakta Virus Corona Yang Wajib Diketahui Dan Pahami
Bagaimana pencegahan COVID-19 bagi orang yang hidup dengan HIV?
Cara terbaik agar tidak tertular virus corona ada adalah dengan sebisa mungkin menghindari paparan virus tersebut dengan melakukan pencegahan, seperti:
- Melakukan physical distancing (bekerja, belajar, dan beribadah di rumah)
- Sebisa mungkin mengurangi aktivitas diluar rumah
- Jika terpaksa keluar rumah, hindari kerumunan
- Rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun setidaknya selama 20 detik
- Membawa hand sanitizer sebagai pengganti air dan sabun
- Menggunakan masker atau face shield jika di luar rumah
Sama halnya dengan orang tanpa HIV, orang dengan HIV atau ODHA juga tetap perlu menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dan terkendali. Beberapa langkah dibawah ini dapat meminimalisir infeksi virus corona.
- Mengkonsumsi makanan yang sehat
- Istirahat yang cukup
- Mengkonsumsi obat ARV dengan rutin dan tepat waktu pastikan selalu tersedia.
Baca juga: Cegah Virus Corona Di Rumah Dengan 5 Kebiasaan Ini!
Obat yang digunakan untuk penyakit hiv

Dalam regimen pengobatan HIV dan AIDS, Anda butuh menggunakan obat-obatan antiretroviral atau ARV. Terapi obat ARV adalah salah satu cara untuk membantu meningkatkan kualitas hidup sembari memastikan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) memiliki harapan hidup yang sama dengan orang sehat lainnya.
Obat antiretroviral (ARV) bekerja mengurangi jumlah viral load HIV dalam darah Anda sampai ke kadar yang sangat rendah, bahkan mungkin tidak lagi terdeteksi. Semakin sedikit virus HIV di dalam tubuh Anda, semakin baik kerja kekebalan tubuh Anda.
Bagi kebanyakan orang, minum obat ARV sangat efektif untuk mengendalikan gejala HIV. Pengobatan ini dapat membantu pengidap HIV dan AIDS tetap sehat serta terhindar dari risiko penyakit infeksi oportunis.
Apa obat HIV?
Kebanyakan regimen pengobatan HIV terdiri dari dua atau tiga obat berbeda, yang sering kali dapat dikombinasikan menjadi satuan pil harian.
1. Intergrase stand transfer inhibitors (INSTIs)
Obat INSTIs adalah obat yang menghentikan aksi integrase. Integrase adalah enzim virus yang digunakan HIV untuk menginfeksi sel T dengan memasukkan DNA HIV ke dalam DNA manusia.
Obat-obatan yang masuk ke dalam INSTIs sebagai berikut:
- Dolutegravir
- Elvitegravir (tidak tersedia sebagai obat yang berdiri sendiri, tetapi tersedia dalam kombinasi obat
- Genvoya dan Stribild)
- Raltegravir
- Bictegravir
2. Nucleoside/ Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)
NRTI adalah salah satu dari enam golongan obat antiretroviral yang digunakan dalam pengobatan HIV dan AIDS.
Obat antiretroviral ini mengganggu kemampuan virus HIV untuk berkembang biak lebih banyak lagi di dalam tubuh. Bekerja dengan menghalangi enzim HIV untuk berkembang biak lebih banyak.
Obat NRTI untuk HIV dan AIDS biasanya terdiri dari 2 sampai 3 kombinasi obat bertikut:
- Abacavir, lamivudine, dan zidovudine
- Abacavir dan lamivudine
- Emtricitabine dan tenofovir alafenamide fumarate
- Lamivudine dan zidovudine.
- Emtricitabine dan tenofovir disoproxil fumarate
- Lamivudine dan tenofovir disoproxil fumarate
Tenofovir disoproxil fumarate dapat dengan mudah Anda temukan dalam obat- obatan di apotek seperti Kifovir. Untuk menggunakan obat ini tentunya Anda memerlukan resep dan rekomendasi dari dokter.

Kifovir adalah antivirus yang mengandung bahan aktif Tenofovir Disoproxil Fumarate. Obat ini umumnya digunakan dalam perawatan Hepatitis B kronis atau Infeksi HIV. Kifovir juga digunakan untuk PrEP (Pre-Exposure Propylaxis). Karena tergolong obat keras, penggunaan obat ini memerlukanresep dan anjuran dari dokter.
3. Cytochrome P4503A (CYP3A) inhibitors
Cytochrome P4503A adalah enzim dalam organ hati yang membantu beberapa fungsi tubuh. Enzim ini dapat memecah atau memetabolisme obat-obatan.
Cytochrom P4503A pada pengobatan antiretroviral ini dapat meningkatkan fungsi kadar obat HIV , serta obat non-HIV lainnya yang masuk dalam tubuh. Sehingga manfaat obat bisa lebih terasa dan manjur dirasakan.
Berikut adalah beberapa contoh obat HIV dan AIDS dari jenis CYP3A:
- Cobicistat (Tybost)
- Ritonavir (Norvir)
4. Entry inhibitors
Pengobatan menggunakan entry inhibitors rata-rata bekerja dengan menghalangi virus HIV dan AIDS memasuki sel T yang sehat. Namun obat ini jarang digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk HIV.
5. Protease inhibitor (PI)
Protease inhibitor adalah salah satu obat HIV dan AIDS yang bekerja dengan mengikat enzim protease.
Untuk berkembang biak atau menyalin virus di dalam tubuh, HIV membutuhkan enzim protease. Ketika protease diikat, lantas ia tidak akan bisa membuat salinan virus HIV. Hal ini berguna untuk mengurangi jumlah virus HIV yang berkembangbiak dan menginfeksi lebih banyak sel sehat.
Berikut obat-obatan yang termasuk kedalam golongan PI untuk mengobati HIV:
- Darunavir
- Fosamprenavir
- Lopinavir (tidak tersedia sebagai obat yang berdiri sendiri, tetapi tersedia dengan ritonavir dalam
- kombinasi obat Kaletra)
- Ritonavir
- Tipranavir
- Atazanavir
Apakah ARV dapat digunakan untuk mengobati COVID-19?
Selain untuk membantu menangani infeksi HIV, beberapa obat ARV seperti lopinavir-ritonavir juga sedang diteliti untuk mengatasi infeksi virus corona atau COVID-19. Namun, sampai saat ini belum ada hasil yang memuaskan.
Peneliti di University of Oxford, Martin Landray mengumumkan kombinasi obat antivirus HIV (Lopinavir dan Ritonavir) tidak menunjukkan potensi penyembuhan untuk pasien Covid-19. Menurutnya, Lopinavir-Ritonavir tidak memitigasi laju kematian jangka pendek, memperpendek waktu perawatan pasien di rumah sakit, atau menghambat laju penyakit.
Belum ada bukti yang menyebutkan orang dengan HIV lebih rentan sakit karena virus ini, asal bisa menjaga imun dengan baik. Apabila Anda merupakan orang yang hidup dengan HIV, Anda tetap bisa menjalankan tindakan pencegahan infeksi virus corona seperti orang lain.
WHO menegaskan jarak fisik harus tetap dijaga selama masa pandemi penyebaran virus corona melalui physical distancing, namun hal ini tidak berarti memutus jarak komunikasi di antara Anda dengan keluarga maupun kerabat.